ANALISIS
CERPEN TULISAN KELINCI MERAH
KARYA AFRIZAL MALNA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS
TUGAS
MATA KULIAH SOSIOLOGI
SASTRA
Dosen
: Drs. Parlindungan Nadeak
Disusun
Oleh:
Adrianus
Andika R
F
11410035
KELAS
A 2010
REGULER
B
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
A.
Latar Belakang
Kejadian atau peristiwa kehidupan dalam masyarakat dapat
direkam oleh pengarang melalui daya kreasi dan imajinasi. Kejadian tersebut
dijadikan karya sastra yang menarik dan bermanfaat. Karya sastra digunakan
pengarang untuk mengajak pembaca ikut melihat, merasakan, menghayati makna
pengalaman hidup yang pernah dirasakannya. Hal ini menunjukkan bahwa karya
sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di sekitar pengarang, sekaligus tanda
yang menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang. Sebuah karya sastra
lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang.
Karya sastra dikatakan sebagai suatu karya yang menarik,
dapat dilihat dari cara pengarang dalam mengungkapkan gagasannya yang salah
satunya yaitu dalam penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa yang menarik dan nilai
estetik yang tinggi, dapat membuat pembaca semakin tertarik pula untuk
mengetahui isi dan makna karya sastra tersebut. Karya sastra dengan memakai
medium bahasa dapat mengungkapkan kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru
alam dan dunia subjektif manusia.
Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial
tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya
bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan
masalah sosial misalnya: tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol
dan mitos (Wellek dan Warren 1995:109) Karya sastra dapat menggambarkan atau
merefleksikan situasi sosial dalam masyarakat. Hal itu menentukan kemungkinan
dinyatakannya nilai-nilai estetis, tetapi tidak secara langsung menentukan
nilai-nilai itu sendiri. Secara garis besar, bentuk-bentuk seni apa yang
mungkin timbul pada suatu masyarakat, dan mana yang tidak mungkin muncul
(Wellek dan Warren 1995:127).
Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek atau
lebih dikenal dengan cerpen. Cerita pendek (cerpen) dalam kesusastraan
Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang menggambarkan kehidupan seseorang
pada saat tertentu.
Masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sering
dijadikan sebagai bahan cerita oleh pengarang. Biasanya apa yang terjadi dalam
lingkungan sosial di sekitar pengarang memicu sebuah gagasan atau ide pokok
yang kemudian oleh pengarang diolah dalam bentuk sebuah cerita yang imajinatif
yang kemudian melahirkan karya sastra. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam
masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan.
Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Cerita pendek (cerpen) merupakan karya sastra fiktif.
Menurut Nurgiyantoro (1995:3) fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra
menggambarkan pula sikap hidup pengarang dan gejala-gejala sosial yang terjadi
di sekitar mereka. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat
atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang
dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan
pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan.
Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema
yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada
dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Berangakat dari permasalahan diatas, maka penulis
menganalisis cerpen dengan pendekatan sosiologi, karena melihat karya sastra
merupakan gambaran kehidupan masyarakat. Kejadia-kejadian sosil tergambar dalam
karya sastra. Khususnya dalam cerpen Tulisan Kelinci Merah karya Afrizal Malna.
Dalam cerpen ini, penulis membuat latar tempat ceritanya adalah dalam suasana
kehidupan masyarakat kenakes yang biasa dikenal sebagai suku Badui.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahasa
dalam analisis cerpen Tulisan Kelinci Merah adalah membahas bagaimana
problemmatika yang terdapat dalam cerpen dan hubungannya dengan kehidupan
sosial masyarakat. Kepengaranagn dan pandanagnnya terhadap karya sastra.
C.
Tujuan
Mengetahui bagaimana problematika sosial yang terdapat
dalam cerpen dan hubungannya dengan kehidupan sosial masyarakat. Mengetahui Kepengaranagn dan pandanagnnya terhadap
karya sastra.
D.
Kajian Teori Sosiologi
Sastra
Sebuah karya sastra dapat dikaji dengan menghubungkannya
dengan sosiologi. Meskipun antara sastra dengan sosiologi adalah dua bidang
ilmu yang berbeda tetapi mampu menjadi bidang ilmu baru yaitu sosiologi sastra.
Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara menghubungkannya
dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Istilah itu pada
dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra, pendekatan
sosiologis, atau pendekatan sosio kultural terhadap sastra (Damono 1978: 2).
Selain itu menurut Damono (1978:6) sosiologi sastra adalah telaah yang objektif
dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses
sosial, sementara Swingewood (dalam Faruk 1994:1) mendefinisikan sosiologi
sebagai studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial.
Sebagaimana sosiologi, sastra juga berhubungan dengan
masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh
budaya tempat karya sastra dilahirkan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono
(1978:3-4) mengklasifikasi tentang hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan berikut:
1. Konteks
sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok
ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai
perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi:
bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai di mana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan
pengarang.
2. Sastra
sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai
cermin keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan
apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu
mendapat perhatian adalah,
a) sejauh
mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat,
b) sejauh
mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat
c) sejauh
mana genresastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili
seluruh masyarakat.
3. Fungsi
sosial sastra. Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial
dan sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian,
a) sejauh
mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat,
b) sejauh
mana sastra hanya sebagai hiburan,
c) sejauh
mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk 1994:4-5).
Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya saling
melengkapi. Menurut Wellek dan Warren jika sastra dianggap sebagai cermin
keadaan masyarakat masih sangat kabur meski sastra tidak sepenuhnya dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis ( Wellek dan Warren
dalam Damono 1978:3).
Berdasarkan klasifikasi di atas dapat
diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra
dengan mempertimbangkan segi-segi, kemasyarakatan mempunyai cakupan luas,
beragam, rumit yang menyangkut pengarang, teks sastra, pembaca. Hubungan nyata
antara sastra dan masyarakat yang bersifat deskriptif dapat diklasifikasikan
menjadi tiga: sosial sastra pengarang yang memasalahkan sastra itu sendiri
sebagai bidang penelaahan. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak
sosial karya sastra. Menurut Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) pendekatan
sosiologi sastra diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sosial
pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut
pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosial
sastra yang memasalahkan karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang
tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
3. Sosial
sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Menurut Grebstein, karya sastra tidak dapat
dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam
konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap
karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari
fakta-fakta sosial yang kultural yang rumit. Untuk memahami karya sastra secara
lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan
atau peradaban yang telah menghasilkannya. Grebstein dalam Damono (1978:4)
sebagaimana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam
usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.
Dalam hal ini sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. (Damono
1978:8). Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya.
Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan
bagaimanapun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri. Menurut Damono
(1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan
analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus
permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati
masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra
bersifat afektif.
E. Analisis
Cerpen Tulisan Kelinci Merah Karya
Afrizal Malna dengan Pendekatan Sosiologis
dan Kepengarangan.
Analisis Cerpen:
Hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam analisis
Sosiologi sastra adalah, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat
karya sastra itu di buat, sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam
mengagambarkan keadaan masyarakat, sejauh mana genresastra yang
dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
Cerpen yang berjudul Tulisan Kelinci Merah karya afrizal
Malna memiliki latar kejadian sosial pada masyarakat Kenakes. Masyarakat
kenakes, seperti yang digambarkan dalam cerpen adalah masyarakat yang selalu
menutup diri dari pengaruh luar. Dan sangat taat pada peraturan, mereka sangat
baik menjaga hutan. Penomena seperti itu memang ada terjadi dalam masyarakat
kenakes yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten.
Cerpen Tulisan
Kelinci Merah karya Afrizal Malna adalah salah satu dari karya sastra yang
mengambarkan probelmatika yang sangat beragam yang dialami manusia dalam
kehidupannya. Pengarang dengan menggunakan simbol-simbol dalam tulisanya
membuat karyanya menjadi menarik dan penuh tanda tanya ketika membancanya.
Dengan imajinasi yang tinggi pengarang mengolah simbol-simbol tersebut untuk
mengambarkan bagaimana problematika yang selalu dialami. Melalui tulisanya,
pengarang menjelaskan bahwa setiap masalah itu berasal dari hati manusia. Kelinci merah adalah simbol yang
digunakan pengarang untuk melambangkan hati manusia. Aku mencoba mengingat kembali bau nafas yang dikeluarkan dari hidung
kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan nafasku sendiri...bau nafasku
ternyata sama dengan bau nafas kelinci ( paragraf 24-25). Semua perbuatan
yang baik atau buruk manusia sebetulnya
berasal dari hati manusia itu sendiri.
Di dalam hati selalu terdapat tiga hasrat, itulah yang
dikatakan keinginan hati yang kuat atau hasrat hati manusia. Ketiga hasrat itu
adalah, pertam; hasrat untuk melihat
sesuatu, kedua; hasrat untuk
mendengar sesuatu, dan ketiga; hasrat
untuk mengungkapkan sesuatu. Tiga makhluk
hidup yang ada dalam cerpen digunakan oleh pengarang untuk mengambarkan
ketiga hasrat manusia tersebut.
Hasrat memang selalu berkembang setiap saat ketika
dihadapkan dengan lingkungan kehidupan sekitar. sebetulnya yang pengarang ingin
sampaikan adalah setelah lahir dari rahim seorang ibu, manusia langsung
disuguhkan dengan hal-hal baru dalam kehidupanya. Berbeda ketika masih dalam
kandungan, manusia bebas dari pengaruh sekitarnya, yang mana setiap
kebutuhannya sudah disediakan juga dalam rahim seorang ibu. Rahim ibu dalam
cerpen digambarkan oleh pengarang sebagai hutan, tempat yang paling aman. Hutan yang dilindungi oleh pikukuh ( paragraph 5).
Memang dalam cerpen Tulisan
Kelinci Merah ini, pengarang mengambil sebuah latar lempat kejadian di
daerah suku Kenakes. Suku kenakes seperti yang kita ketahui adalah suku yang
begitu taat dengan peraturan, mereka selalu melindungi alam. Suku kenakes
sangat membatasi diri dengan pengaruh luar, terutama suku Kenakes Dalam. Arca
Domas adalah tempat yang dikeramatkan oleh suku Kenakes Dalam.
“Punten”
Punten
adalah simbol yang digunakan penulis untuk menyatakan seorang manusia yang
lahir dan selanjutnya akan berhadapan dengan lingkungan. Mulai itulah seorang
manusia juga mendapat hasrat, manusia yang dikatakan memiliki ketiga hasrat
dalam hatinya, sama seperti yang lainnya. Hasrat mereka akan terus berkembang
seiring dengan waktu dan situasi lingkungan yang dihadapinya, sehingga banyak
yang dilihat, didengar, dan dibicarakan.
Mereka
tidak bisa aku lihat. Tapi mereka ada. Mereka seperti mengerakan tanganku untuk
menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam (Paragraf 10). Disini penulis ingin ikut
serta dalam sebuah kejadian yang berusaha menjelaskan yang pada awalnya manusia
ketika belum banyak mengetahui sesuatu dari lingkungannya lewat penglihatan,
pendengaran, dan ucapannya, maka manusia masih mendapat ketenangan. Tetapi
seiring waktu ketenagkan itu akan hilang bila manusia sudah banyak mengenal
lingkunganya.
Pendeta
Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar
adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri (paragraf 16). Bumi
adalah lambang lingkungan. Manusia memang bisa lepas dari lingkungan sekitarnya
tetapi harus melewati tiga syarat yang dimaksud oleh Pendeta Bumi. Jelas,
apabila orang sudah melanggar adat istiadat, mati atau gila maka ia akan lepas
dari lingkungannya. Hasrat yang dimilikinya juga sudah tidak bagus. Sehingga
cenderung untuk berbuat sesuatu yang menyimpang.
Hasrat yang seperti ini lah yang sering terjadi pada
manusia. Bila yang dilihat, didengar, dibicarakannya dalam lingkunganya adalah
sesuatu yang baik, maka perbuatan baik jugalah yang akan dilakukanya.
Sebaliknya bila yang dilihat, didengar, dan dibicarakanya itu sesuatu yang
jahat maka perbuatan jahatlah yang akan dilakukanya. Seperti yang terjadi saat
ini banyak sekali terjadi pelanggaran norma yang berlaku, semuanya berawal dari
hasrat jahat manusia. Seperti korupsi, menguasai kelompok tertentu, menyerang
kepercayaan orang lain.
Pada akhirnya, penulis seperti menawarkan semacam ajaran
kepada manusia agar lepas dari lingkungan. Ketiga
orang makhluk hidup itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk
meniggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu seperti Urang Kanakes. Mereka
belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir, belajar tidak melihat
dengan tidak melihat, belajar berjalan untuk tidak berjalan ( paragraf 21).
Kepengarangan:
Nama : Afrizal
Malna
Lahir : Jakarta,
7 Juni 1957
Pendidikan : Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara (1981-1983)
Karya Tulis : Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading, (1995), Kalung dari Teman, Perdebatan Sastra Kontekstual (1986), Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Pistol Perdamaian Cerpen Pilihan Kompas (1996).
Afrizal Malna adalah seniman Indonesia yang menghasilkan berbagai karya,
mulai puisi, cerita pendek, novel, esai, serta naskah pertunjukan teater.
Karya-kartnya sering menciptakan nuansa dan gaya puitis. Sejak menamatkan
bangku SMA (1976), ia tidak melanjutkan sekolah, baru di tahun 1981 ia
berkuliah di sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta hingga dikeluarkan
pada tahun 1983.
Dalam karyanya, misalnya puisi, Afrizal Malna merumuskan dan
memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar
yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan
antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika
puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak
menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum
representasi. Sehingga, membaca puisi Afrizal harus selalu ekstra waspada dan
siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini dan terasa kacau, agar bisa tetap
mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan
puisinya.
Bagi
Afrizal Malna, puisi tak selalu harus diperlakukan dengan cara mempraktikkan
keketatan disiplin berbahasa dan berpuisi yang harus koheren, sinkron, mematuhi
prinsip-prinsip sintaksis maupun semantik konvensional. Sebab, menurut penyair
ini, kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet.
Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah.
Bahasa pada dasarnya medan komunikasi sehingga setiap hal yang menyimpan atau
menyampaikan pesan kemungkinan besar menjadi bahasa atau sudah menjadi bahasa
dalam keseluruhan dirinya Konsekuensi dari itu semua adalah puisi mestinya
memiliki pendaman ”misteri, memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai
ingatan pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Pembaca bisa membuat
permainan baru dari korespondensi antar ingatan-ingatannya sendiri. Sebab puisi
tak hidup dalam dirinya sendiri, puisi hidup dalam diri pembaca yang terbuka
terhadap ingatannya atau berbagai pengalaman pribadi dan sosial.
Kata,
bagi penyair ini, selalu memiliki ruang luar dan ruang dalam. ‘Ruang luar kata’
adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai
pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini. Sifatnya sangat
umum dan pragmatis. Mitos dan berbagai pandangan stereotip, wacana, dan
ideologi, dibawa ke ruang ini lebih sebagai pengukuhan dan stabilitas publik
dalam menjalankan berbagai mekanisme hubungan yang telah dilembagakan.
Kediktatoran bahasa mungkin terjadi di ruang ini yang mereduksi kualitas
kehidupan publik. Sedangkan ruang dalam kata” sifatnya pribadi dan subjektif.
Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang yang terbatas. Karena
itu pengejaran dalam pelaksanaan kebebasan tersebut cenderung bergerak ke dimensi
kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Puisi menjadi menarik karena ia
sesungguhnya merupakan produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar
menemui publik.
Sejak
1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan untuk Teater SAE. Tahun
1995 membuat pertunjukan Seni Instalasi bersama Beeri Berhard Batscholat dan
Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi
‘Kesibukan Mengamati Batu-Batu’, dengan seniman dari berbagai disiplin di TIM
Jakarta. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hambrug,
memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka
pertunjukan Teater SAE 1993 yang mementaskan naskahnya.
Tahun
2003, ia mementaskan ‘Telur Matahari’ berkolaborasi dengan Jecko Kurniawan
Harris Pribadie Bah. Memiliki karier yang beragam, mulai dari bekerja di
perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut dan asuransi jiwa.
Beberapa kali diundang dalam festival dan acara sastra nasional maupun
internasional, seperti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda
(1995), dan Utan Kayu International Literary Biennale di Jakarta (2006).
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko.1978. Sosiologi
Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Faruk.1994. Pengantar
Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Press.
Wellek, Renne dan Austin Werren.1995. Teori
Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar