Selasa, 02 Februari 2016

ANALISIS CERPEN TULISAN KELINCI MERAH KARYA AFRIZAL MALNA MENGGUNAKAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS



ANALISIS CERPEN TULISAN KELINCI MERAH
KARYA AFRIZAL MALNA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS

TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI SASTRA
Dosen : Drs. Parlindungan Nadeak

Disusun Oleh:
Adrianus Andika R
F 11410035

KELAS A 2010
REGULER B
 






FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
A.    Latar Belakang
Kejadian atau peristiwa kehidupan dalam masyarakat dapat direkam oleh pengarang melalui daya kreasi dan imajinasi. Kejadian tersebut dijadikan karya sastra yang menarik dan bermanfaat. Karya sastra digunakan pengarang untuk mengajak pembaca ikut melihat, merasakan, menghayati makna pengalaman hidup yang pernah dirasakannya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di sekitar pengarang, sekaligus tanda yang menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang. Sebuah karya sastra lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang.
Karya sastra dikatakan sebagai suatu karya yang menarik, dapat dilihat dari cara pengarang dalam mengungkapkan gagasannya yang salah satunya yaitu dalam penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa yang menarik dan nilai estetik yang tinggi, dapat membuat pembaca semakin tertarik pula untuk mengetahui isi dan makna karya sastra tersebut. Karya sastra dengan memakai medium bahasa dapat mengungkapkan kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial misalnya: tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol dan mitos (Wellek dan Warren 1995:109) Karya sastra dapat menggambarkan atau merefleksikan situasi sosial dalam masyarakat. Hal itu menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tetapi tidak secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Secara garis besar, bentuk-bentuk seni apa yang mungkin timbul pada suatu masyarakat, dan mana yang tidak mungkin muncul (Wellek dan Warren 1995:127).
Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek atau lebih dikenal dengan cerpen. Cerita pendek (cerpen) dalam kesusastraan Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang menggambarkan kehidupan seseorang pada saat tertentu.
Masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sering dijadikan sebagai bahan cerita oleh pengarang. Biasanya apa yang terjadi dalam lingkungan sosial di sekitar pengarang memicu sebuah gagasan atau ide pokok yang kemudian oleh pengarang diolah dalam bentuk sebuah cerita yang imajinatif yang kemudian melahirkan karya sastra. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Cerita pendek (cerpen) merupakan karya sastra fiktif. Menurut Nurgiyantoro (1995:3) fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra menggambarkan pula sikap hidup pengarang dan gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitar mereka. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Berangakat dari permasalahan diatas, maka penulis menganalisis cerpen dengan pendekatan sosiologi, karena melihat karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat. Kejadia-kejadian sosil tergambar dalam karya sastra. Khususnya dalam cerpen Tulisan Kelinci Merah karya Afrizal Malna. Dalam cerpen ini, penulis membuat latar tempat ceritanya adalah dalam suasana kehidupan masyarakat kenakes yang biasa dikenal sebagai suku Badui.

B.     Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahasa dalam analisis cerpen Tulisan Kelinci Merah adalah membahas bagaimana problemmatika yang terdapat dalam cerpen dan hubungannya dengan kehidupan sosial masyarakat. Kepengaranagn dan pandanagnnya terhadap karya sastra.

C.     Tujuan
Mengetahui bagaimana problematika sosial yang terdapat dalam cerpen dan hubungannya dengan kehidupan sosial masyarakat. Mengetahui Kepengaranagn dan pandanagnnya terhadap karya sastra.
D.    Kajian Teori Sosiologi Sastra
Sebuah karya sastra dapat dikaji dengan menghubungkannya dengan sosiologi. Meskipun antara sastra dengan sosiologi adalah dua bidang ilmu yang berbeda tetapi mampu menjadi bidang ilmu baru yaitu sosiologi sastra. Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio kultural terhadap sastra (Damono 1978: 2). Selain itu menurut Damono (1978:6) sosiologi sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial, sementara Swingewood (dalam Faruk 1994:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial.
Sebagaimana sosiologi, sastra juga berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono (1978:3-4) mengklasifikasi tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan berikut:
1.      Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi: bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai di mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan pengarang.
2.      Sastra sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah,
a)      sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat,
b)      sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat
c)      sejauh mana genresastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
3.      Fungsi sosial sastra. Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian,
a)      sejauh mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat,
b)      sejauh mana sastra hanya sebagai hiburan,
c)      sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk 1994:4-5). Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya saling melengkapi. Menurut Wellek dan Warren jika sastra dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat masih sangat kabur meski sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis ( Wellek dan Warren dalam Damono 1978:3).
Berdasarkan klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi, kemasyarakatan mempunyai cakupan luas, beragam, rumit yang menyangkut pengarang, teks sastra, pembaca. Hubungan nyata antara sastra dan masyarakat yang bersifat deskriptif dapat diklasifikasikan menjadi tiga: sosial sastra pengarang yang memasalahkan sastra itu sendiri sebagai bidang penelaahan. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Menurut Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) pendekatan sosiologi sastra diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Sosial pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2.      Sosial sastra yang memasalahkan karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
3.      Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Menurut Grebstein, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari fakta-fakta sosial yang kultural yang rumit. Untuk memahami karya sastra secara lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Grebstein dalam Damono (1978:4) sebagaimana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. (Damono 1978:8). Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan bagaimanapun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri. Menurut Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra bersifat afektif.
E.     Analisis Cerpen Tulisan Kelinci Merah Karya Afrizal Malna dengan Pendekatan Sosiologis dan Kepengarangan.  
Analisis Cerpen:
Hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam analisis Sosiologi sastra adalah, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat, sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat, sejauh mana genresastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
Cerpen yang berjudul Tulisan Kelinci Merah karya afrizal Malna memiliki latar kejadian sosial pada masyarakat Kenakes. Masyarakat kenakes, seperti yang digambarkan dalam cerpen adalah masyarakat yang selalu menutup diri dari pengaruh luar. Dan sangat taat pada peraturan, mereka sangat baik menjaga hutan. Penomena seperti itu memang ada terjadi dalam masyarakat kenakes yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten.
Cerpen Tulisan Kelinci Merah karya Afrizal Malna adalah salah satu dari karya sastra yang mengambarkan probelmatika yang sangat beragam yang dialami manusia dalam kehidupannya. Pengarang dengan menggunakan simbol-simbol dalam tulisanya membuat karyanya menjadi menarik dan penuh tanda tanya ketika membancanya. Dengan imajinasi yang tinggi pengarang mengolah simbol-simbol tersebut untuk mengambarkan bagaimana problematika yang selalu dialami. Melalui tulisanya, pengarang menjelaskan bahwa setiap masalah itu berasal dari hati manusia. Kelinci merah adalah simbol yang digunakan pengarang untuk melambangkan hati manusia. Aku mencoba mengingat kembali bau nafas yang dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan nafasku sendiri...bau nafasku ternyata sama dengan bau nafas kelinci ( paragraf 24-25). Semua perbuatan yang baik atau buruk  manusia sebetulnya berasal dari hati manusia itu sendiri.
Di dalam hati selalu terdapat tiga hasrat, itulah yang dikatakan keinginan hati yang kuat atau hasrat hati manusia. Ketiga hasrat itu adalah, pertam; hasrat untuk melihat sesuatu, kedua; hasrat untuk mendengar sesuatu, dan ketiga; hasrat untuk mengungkapkan sesuatu. Tiga makhluk hidup yang ada dalam cerpen digunakan oleh pengarang untuk mengambarkan ketiga hasrat manusia tersebut.
Hasrat memang selalu berkembang setiap saat ketika dihadapkan dengan lingkungan kehidupan sekitar. sebetulnya yang pengarang ingin sampaikan adalah setelah lahir dari rahim seorang ibu, manusia langsung disuguhkan dengan hal-hal baru dalam kehidupanya. Berbeda ketika masih dalam kandungan, manusia bebas dari pengaruh sekitarnya, yang mana setiap kebutuhannya sudah disediakan juga dalam rahim seorang ibu. Rahim ibu dalam cerpen digambarkan oleh pengarang sebagai hutan, tempat yang paling aman. Hutan yang dilindungi oleh pikukuh ( paragraph 5).
Memang dalam cerpen Tulisan Kelinci Merah ini, pengarang mengambil sebuah latar lempat kejadian di daerah suku Kenakes. Suku kenakes seperti yang kita ketahui adalah suku yang begitu taat dengan peraturan, mereka selalu melindungi alam. Suku kenakes sangat membatasi diri dengan pengaruh luar, terutama suku Kenakes Dalam. Arca Domas adalah tempat yang dikeramatkan oleh suku Kenakes Dalam.
“Punten”
Punten adalah simbol yang digunakan penulis untuk menyatakan seorang manusia yang lahir dan selanjutnya akan berhadapan dengan lingkungan. Mulai itulah seorang manusia juga mendapat hasrat, manusia yang dikatakan memiliki ketiga hasrat dalam hatinya, sama seperti yang lainnya. Hasrat mereka akan terus berkembang seiring dengan waktu dan situasi lingkungan yang dihadapinya, sehingga banyak yang dilihat, didengar, dan dibicarakan.
Mereka tidak bisa aku lihat. Tapi mereka ada. Mereka seperti mengerakan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam (Paragraf 10). Disini penulis ingin ikut serta dalam sebuah kejadian yang berusaha menjelaskan yang pada awalnya manusia ketika belum banyak mengetahui sesuatu dari lingkungannya lewat penglihatan, pendengaran, dan ucapannya, maka manusia masih mendapat ketenangan. Tetapi seiring waktu ketenagkan itu akan hilang bila manusia sudah banyak mengenal lingkunganya.
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri (paragraf 16). Bumi adalah lambang lingkungan. Manusia memang bisa lepas dari lingkungan sekitarnya tetapi harus melewati tiga syarat yang dimaksud oleh Pendeta Bumi. Jelas, apabila orang sudah melanggar adat istiadat, mati atau gila maka ia akan lepas dari lingkungannya. Hasrat yang dimilikinya juga sudah tidak bagus. Sehingga cenderung untuk berbuat sesuatu yang menyimpang.
Hasrat yang seperti ini lah yang sering terjadi pada manusia. Bila yang dilihat, didengar, dibicarakannya dalam lingkunganya adalah sesuatu yang baik, maka perbuatan baik jugalah yang akan dilakukanya. Sebaliknya bila yang dilihat, didengar, dan dibicarakanya itu sesuatu yang jahat maka perbuatan jahatlah yang akan dilakukanya. Seperti yang terjadi saat ini banyak sekali terjadi pelanggaran norma yang berlaku, semuanya berawal dari hasrat jahat manusia. Seperti korupsi, menguasai kelompok tertentu, menyerang kepercayaan orang lain.
Pada akhirnya, penulis seperti menawarkan semacam ajaran kepada manusia agar lepas dari lingkungan. Ketiga orang makhluk hidup itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk meniggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu seperti Urang Kanakes. Mereka belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir, belajar tidak melihat dengan tidak melihat, belajar berjalan untuk tidak berjalan ( paragraf  21).
Kepengarangan:
Nama : Afrizal Malna
Lahir : Jakarta, 7 Juni 1957
Pendidikan : Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (1981-1983)
Karya Tulis : Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading, (1995), Kalung dari Teman, Perdebatan Sastra Kontekstual (1986), Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Pistol Perdamaian Cerpen Pilihan Kompas (1996).
Afrizal Malna adalah seniman Indonesia yang menghasilkan berbagai karya, mulai puisi, cerita pendek, novel, esai, serta naskah pertunjukan teater. Karya-kartnya sering menciptakan nuansa dan gaya puitis. Sejak menamatkan bangku SMA (1976), ia tidak melanjutkan sekolah, baru di tahun 1981 ia berkuliah di sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta hingga dikeluarkan pada tahun 1983.
Dalam karyanya, misalnya puisi, Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sehingga, membaca puisi Afrizal harus selalu ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini dan terasa kacau, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya.
Bagi Afrizal Malna, puisi tak selalu harus diperlakukan dengan cara mempraktikkan keketatan disiplin berbahasa dan berpuisi yang harus koheren, sinkron, mematuhi prinsip-prinsip sintaksis maupun semantik konvensional. Sebab, menurut penyair ini, kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa pada dasarnya medan komunikasi sehingga setiap hal yang menyimpan atau menyampaikan pesan kemungkinan besar menjadi bahasa atau sudah menjadi bahasa dalam keseluruhan dirinya Konsekuensi dari itu semua adalah puisi mestinya memiliki pendaman ”misteri, memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai ingatan pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Pembaca bisa membuat permainan baru dari korespondensi antar ingatan-ingatannya sendiri. Sebab puisi tak hidup dalam dirinya sendiri, puisi hidup dalam diri pembaca yang terbuka terhadap ingatannya atau berbagai pengalaman pribadi dan sosial.
Kata, bagi penyair ini, selalu memiliki ruang luar dan ruang dalam. ‘Ruang luar kata’ adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini. Sifatnya sangat umum dan pragmatis. Mitos dan berbagai pandangan stereotip, wacana, dan ideologi, dibawa ke ruang ini lebih sebagai pengukuhan dan stabilitas publik dalam menjalankan berbagai mekanisme hubungan yang telah dilembagakan. Kediktatoran bahasa mungkin terjadi di ruang ini yang mereduksi kualitas kehidupan publik. Sedangkan ruang dalam kata” sifatnya pribadi dan subjektif. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang yang terbatas. Karena itu pengejaran dalam pelaksanaan kebebasan tersebut cenderung bergerak ke dimensi kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Puisi menjadi menarik karena ia sesungguhnya merupakan produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik.
Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan untuk Teater SAE. Tahun 1995 membuat pertunjukan Seni Instalasi bersama Beeri Berhard Batscholat dan Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi ‘Kesibukan Mengamati Batu-Batu’, dengan seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hambrug, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater SAE 1993 yang mementaskan naskahnya.
Tahun 2003, ia mementaskan ‘Telur Matahari’ berkolaborasi dengan Jecko Kurniawan Harris Pribadie Bah.  Memiliki karier yang beragam, mulai dari bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut dan asuransi jiwa. Beberapa kali diundang dalam festival dan acara sastra nasional maupun internasional, seperti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1995), dan Utan Kayu International Literary Biennale di Jakarta (2006).
DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Wellek, Renne dan Austin Werren.1995. Teori Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar