San-Sam Tak
Sehening Dulu
(Dayak Bakati')
A
|
sa’
dua’ taru apat lima’ anam jo’...
Ae’ Jubata Sabakal, Jubata Kayu, Jubata
Sangkaro…
Tawar…tawar…tawar…
Seperti apa suasana san-sam?
Aku
ingat btul peristiwa itu. Waktu aku masih SD, lumayan untuk ingatan seorang
anak seumur itu.
Suasana sekonyong-konyong sunyi di desa ku di
kala sore menjelang petang. Tak seperti hari biasanya yang selalu ada hiburan
dan teriakan anak-anak bermain di luar. Juga binatang-binatang yang
kesehariannya selalu bersuara, tiba-tiba seperti di setel diam pada sore itu.
Orang-orang yang berkerja pun harus pulang ke rumah masing-masing. Tidak boleh
ada aktivitas di luar.
Dari kejauhan tampak seorang kakek hampir
bungkuk yang membawa teko. Saya tahu persis di dalam teko itu berisi air tawar
dan seonggok daung juang yang diikat dan diisi air tawar yang berwarna putih.
Tibalah giliran kakek bungkuk itu di rumah
kami. Saya, adik, abang, dan kedua orang tua langsung duduk pada posisi masing-masing.
“Asa’ dua’ taru apat lima’ anam jo’
pangarapus. Ae’ Jubata Sabakal, Jubata Kayu, Jubata
Sangkaro…Tawar…tawar…tawar….”
Kata-kata itulah yang keluar dari mulut kakek bungkuk sambil memercikkan
kami air tawar dengan daun juang yang dibawanya. Kemudian memercikanya di dalam
kamar, dan dapur. Selanjutnya kakek bungkuk membacakan mantra di depan sesajian
yang telah kami sediakan. Setelah semuanya selesai kakek kembali melanjutkan
pekerjaannya di rumah-rumah berikutnya. Kegiatan itu dilakukan saat sore dan
pagi. Begitu seterusnya dilakukan kakek bungkuk. Kegiatan itu dilakukan selama
dua hari. Itulah acara adat san-sam atau tutup tahun untuk memulai tahun yang
baru.
Apa hakikat upacara
san-sam itu?
Karena ada tugas mata kuliah Jurnalistik.
Saya jadi teringat dengan upacara adat san-sam.
Langsung saya menelpon Bapak di rumah, untuk menanyakan seputar masalah upacara adat san-sam. Kebetulan Bapak adalah ketua RW di kampoug. Bapak sering membantu ketua adat saat proses upacara adat
apapun yang dilakukan di kampung.
Langsung ia bercerita kepadaku. “Menurut
ketua adat di Desa Sebunga, Sama Uhek. San-sam
adalah upacara adat tutup tahun. Artinya menutup tahun sebelumnya dengan cara
bersyukur kepada Tuhan atau dalam bahasa Dayak Bakatik disebut Jubata. Tetapi istilah san-sam sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada upacara tutup tahun
saja. istilah san-sam digunakan untuk menetralkan penyakit, hama, dan sesuatu
yang buruk yang menimpa kampung. San-sam
berarti memperbaiki keadaan sesuai dengan keadaan normal”. Ujar Bapak.
Asal mula upacara san-sam.
“Pada mulanya upacara san-sam dilakukan oleh
nenek moyang orang Dayak. Menurut kepercayaan orang Dayak, Jubata adalah pencipta alam semesta. Jadi manusia yang telah
memanfaatkan alam semesta semestinya berterimakasih kepada penciptannya. Bentuk
terimakasih itu berupa persembahan sesajian. Yang kelak disebut san-sam oleh masyarakat Dayak” jelas Bapak.
“Orang Dayak jaman
dahulu menganggap upacara san-sam adalah acara yang sakral. Apabila ada orang yang
melanggar, maka akan dihukum secara adat. Bagi orang jaman dahulu, hukuman itu
terbilang cukup berat. Si pelaku yang melanggar harus mempersiapkan seekor
ayam, tempayan kecil, dan didoakan secara adat. Tetapi bukan itu yang membuat hukuman itu ditakuti. Orang yang melanggar
akan mengalami beban moral karena telah berbuat yang tidak baik. Iya akan
menjadi bahan bicara masyarakat setempat
atas perbuatanya” tukas Bapak menjelaskan dengan lancar.
Setelah itu saya berterimakasih kepada bapak
karena telah memberi informasi mengenai adat san-sam. Kemudian saya menutup perbincanagn kami. Saya mencoba dengan pengetahuan dan diintegrasikan dengan pengalamanku. Karena
memang saya sering menyaksikan upacara itu dikampung. Jadi saya tahu apa bahan-bahan yang harus disediakan saat
upacara san-sam.
Sesajian dalam
upacara san-sam.
Sesajian dalam upacara san-sam terdiri dari ayam kampung, tumpi’ gambung (cucur), lemang,
ketupat, bendera kecil berwarna putih, kue (dibuat dari tepung gandum berbentuk
angka 8,9, segi tiga, delima yang digoreng), beras hijau, beras kuning, minyak,
beras pulut, beras biasa, telur, uang logam, buah pinang, daun sirih, kapur sirih. Semua sesajian
itu dipersembahkan kepada Jubata diiringi mantra-mantra yang diucapkan oleh ketua adat di tempat
penyembahan.
Oh ya,
tempat penyembahan itu berupa rumah kecil yang dibuat dengan kayu belian (besi). Rumahnya sangat mungil, dengan atap kayu belian (besi) hanya memiliki satu tiang penyangga dari kayu besi. Di dalam rumah
munggil tersebut ditempatkan sesajian yang telah disediakan. Rumah mungil itu dihiaskan dengan bendera kecil dengan kain
putih. (di beberapa kampung
lain, selain tempat yang diceritakan, rumah kecil itu berbeda-beda desainnya).
Tetapi bagaimana san-sam sekarang?
Saya masih ingat bentul. Waktu itu saya sudah SMA. Upacara san-sam pun diselengarakan seperti biasanya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada saat itu juga pelaksanaan
upacara san-sam mulai berbenda dari tahun sebelumnya. Orang tidak terlalu menggaap upacara itu
sesuatu yang sakral. Tampak dari perbuatan mereka. Saat upacara san-sam mereka dengan bebas keluar
rumah. Berkumpul di salah satu rumah atau warung. Lebih parahnya lagi mereka
berjudi. Kesempatan upacara san-sam dimanfaatkan untuk berkumpul beramai-ramai
disalah satu rumah. Karena di saat upacara san-sam orang
tidak boleh bekerja. Misalnya menebang, berburu, bahkan menghidupkan api.
Perbuatan itu tentu tidak sesuai dengan hakikat upacara san-sam sebenarnya yang telah diyakini oleh masyarakat Dayak sejak jaman dahulu. Jika dahulu, upacara
san-sam, orang tidak boleh keluar rumah, apalagi berkumpul ramai-ramai.
Apa yang
menyebabkan hal itu terjadi?
Seiring perkembangan jaman. Manusia yang
memiliki akal pikiran pun juga turut berkembang. Permasalahanya, apakah pemikiran manusia akan selalu berkembang pada hal yang
positif? Menurut saya belum tentu demikian. Hal ini juga terjadi pada masyarakat dayak Dususn Aping. Mereka menganggap upacara san-sam tidak terlalu penting. Sesuatu
yang bersifat adat tidak terlalu diindahkan. Tampak dari perbuatan mereka. Saat
upacara san-sam dilakukan mereka lebih suka berkumpul dirumah yang lain dan di
warung kemudian berjudi. Mereka tidak takut akan hukuman adat yang ada. Mungkin
bagi mereka hukuman tersebut tidak terlalu berat. Hanya membeli seekor ayam dan
tempayan kecil. Rasa
malu mereka seakan tidak ada lagi bila telah melanggar hukum. Malah pernah sekali waktu. Saat itu saya masih SMA.
Pada saat upacara san-sam dilakukan terjadi penghukuman secara beramai-rama.
Selain itu mereka beranggapan jaman sekarang tidak akan mungkin mendapatnkan
panen yang melimpah. Beras bisa diperoleh dengan cara membeli di pasar dengan
harga yang terjangkau dan lebih instan. Lauk-pauk juga bisa dengan mudah
diperoleh di pasar.
Eksistensi
kebudayaan upacara san-sam.
San-sam adalah upacara adat yang keberadaannya telah
lama ada dalam kehidupan masyarakat Dayak khusunya di kecamatan Sajingan Besar.
Upacara adat tersebut diyakini dapat memberi berkah terhadap hasil panen tahun
berikutnya. Pada jaman dahulu hal itu memang benar-benar nyata. Panen selalu melimpah setiap
tahunnya. Lalu mengapa upacara yang bersifat positif itu ditinggalkan pada
jaman sekarang? Eksistensi adat istiadat jaman dahulu yang berkaitan erat
dengan kemakmuran kehidupan masyarakat dayak tidak diragukan lagi. Saya masih ingat, waktu dulu kami tidak pernah
kekurangan beras, selalu melimpah hasil ladang kami. Begitu juga nenekku pernah
bercerita padaku. Di Jaman dia
dahulu juga begitu. Orang-orang kampung selalu panen melimpah, bahkan sampai
dijual ke negara tetangga (Malaysia) padi dan hasil ladang lainya.
Bagaiman
menghidupkan kembali kesadaran masyarakat terhadap upacara san-sam?
Eksistensi kebudayaan dayak jaman dahulu
memang tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi apakah kebudayaan itu akan selalu eksis
selama perkembangan jaman? Menurut saya kenyatanya tidak selalu demikian yang terlihat. Faktor redupnya
kebudayaan seperti upacara san-sam diakibatkan oleh kesadaran masyarakat dayak yang kurang cinta akan kebudayaannya. Tanggungjawabnya adalah
kepada generasi penerus atau generasi muda. Mereka harusnya bangga akan
kebudayaannya. Mereka semestinya melestarikan apa yang telah diwariskan oleh
generasi pendahulunya. Upacara san-sam adalah kebudayaan yang positif maka wajib dilestarikan.
Cara melestarikan kebudayaan khusunya upacara
san-sam bisa dengan cara menghargai kebudayaan tersebut. Dalam arti saat
dilakukan upacar tersebut maka benar-benarlah menjalaninya. Jangan sampai
melanggar peraturan adat yang telah ada sebelumnya. Toh juga tidak menguranggi
rezeki, malah memberi keuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar