Selasa, 02 Februari 2016

San-Sam



San-Sam Tak Sehening Dulu
(Dayak Bakati')


A
sa’ dua’ taru apat lima’ anam jo’...
Ae’ Jubata Sabakal, Jubata Kayu, Jubata Sangkaro…
 Tawar…tawar…tawar…
Seperti apa suasana san-sam?
Aku ingat btul peristiwa itu. Waktu aku masih SD, lumayan untuk ingatan seorang anak seumur itu.
Suasana sekonyong-konyong sunyi di desa ku di kala sore menjelang petang. Tak seperti hari biasanya yang selalu ada hiburan dan teriakan anak-anak bermain di luar. Juga binatang-binatang yang kesehariannya selalu bersuara, tiba-tiba seperti di setel diam pada sore itu. Orang-orang yang berkerja pun harus pulang ke rumah masing-masing. Tidak boleh ada aktivitas di luar.
Dari kejauhan tampak seorang kakek hampir bungkuk yang membawa teko. Saya tahu persis di dalam teko itu berisi air tawar dan seonggok daung juang yang diikat dan diisi air tawar yang berwarna putih.
Tibalah giliran kakek bungkuk itu di rumah kami. Saya, adik, abang, dan kedua orang tua langsung duduk pada posisi masing-masing.
“Asa’ dua’ taru apat lima’ anam jo’ pangarapus. Ae’ Jubata Sabakal, Jubata Kayu, Jubata Sangkaro…Tawar…tawar…tawar….
Kata-kata itulah yang keluar dari mulut kakek bungkuk sambil memercikkan kami air tawar dengan daun juang yang dibawanya. Kemudian memercikanya di dalam kamar, dan dapur. Selanjutnya kakek bungkuk membacakan mantra di depan sesajian yang telah kami sediakan. Setelah semuanya selesai kakek kembali melanjutkan pekerjaannya di rumah-rumah berikutnya. Kegiatan itu dilakukan saat sore dan pagi. Begitu seterusnya dilakukan kakek bungkuk. Kegiatan itu dilakukan selama dua hari. Itulah acara adat san-sam atau tutup tahun untuk memulai tahun yang baru.

Apa hakikat upacara san-sam itu?
Karena ada tugas mata kuliah Jurnalistik. Saya jadi teringat dengan upacara adat san-sam. Langsung saya menelpon Bapak di rumah, untuk menanyakan seputar masalah upacara adat san-sam. Kebetulan Bapak adalah ketua RW di kampoug. Bapak sering membantu ketua adat saat proses upacara adat apapun yang dilakukan di kampung.
Langsung ia bercerita kepadaku. “Menurut ketua adat di Desa Sebunga, Sama Uhek. San-sam adalah upacara adat tutup tahun. Artinya menutup tahun sebelumnya dengan cara bersyukur kepada Tuhan atau dalam bahasa Dayak Bakatik disebut Jubata. Tetapi istilah san-sam sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada upacara tutup tahun saja. istilah san-sam digunakan untuk menetralkan penyakit, hama, dan sesuatu yang buruk yang menimpa kampung. San-sam berarti memperbaiki keadaan sesuai dengan keadaan normal”. Ujar Bapak.
Asal mula upacara san-sam.
“Pada mulanya upacara san-sam dilakukan oleh nenek moyang orang Dayak. Menurut kepercayaan orang Dayak, Jubata adalah pencipta alam semesta. Jadi manusia yang telah memanfaatkan alam semesta semestinya berterimakasih kepada penciptannya. Bentuk terimakasih itu berupa persembahan sesajian. Yang kelak disebut san-sam oleh masyarakat Dayak” jelas Bapak.
Orang Dayak jaman dahulu menganggap upacara san-sam adalah acara yang sakral. Apabila ada orang yang melanggar, maka akan dihukum secara adat. Bagi orang jaman dahulu, hukuman itu terbilang cukup berat. Si pelaku yang melanggar harus mempersiapkan seekor ayam, tempayan kecil, dan didoakan secara adat. Tetapi bukan itu yang membuat hukuman itu ditakuti. Orang yang melanggar akan mengalami beban moral karena telah berbuat yang tidak baik. Iya akan menjadi bahan bicara masyarakat  setempat atas perbuatanya” tukas Bapak menjelaskan dengan lancar.
Setelah itu saya berterimakasih kepada bapak karena telah memberi informasi mengenai adat san-sam. Kemudian saya menutup perbincanagn kami. Saya mencoba dengan pengetahuan dan diintegrasikan dengan pengalamanku. Karena memang saya sering menyaksikan upacara itu dikampung. Jadi saya tahu apa bahan-bahan yang harus disediakan saat upacara san-sam.


Sesajian dalam upacara san-sam.
Sesajian dalam upacara san-sam terdiri dari ayam kampung, tumpi’ gambung (cucur), lemang, ketupat, bendera kecil berwarna putih, kue (dibuat dari tepung gandum berbentuk angka 8,9, segi tiga, delima yang digoreng), beras hijau, beras kuning, minyak, beras pulut, beras biasa, telur, uang logam, buah pinang, daun sirih, kapur sirih. Semua sesajian itu dipersembahkan kepada Jubata diiringi mantra-mantra yang diucapkan oleh ketua adat di tempat penyembahan.
 Oh ya, tempat penyembahan itu berupa rumah kecil yang dibuat dengan kayu belian (besi). Rumahnya sangat mungil, dengan atap kayu belian (besi) hanya memiliki satu tiang penyangga dari kayu besi. Di dalam rumah munggil tersebut ditempatkan sesajian yang telah disediakan. Rumah mungil itu dihiaskan dengan bendera kecil dengan kain putih. (di beberapa kampung lain, selain tempat yang diceritakan, rumah kecil itu berbeda-beda desainnya).
Tetapi bagaimana san-sam sekarang?
Saya masih ingat bentul. Waktu itu saya sudah SMA. Upacara san-sam pun diselengarakan seperti biasanya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada saat itu juga pelaksanaan upacara san-sam mulai berbenda dari tahun sebelumnya. Orang tidak terlalu menggaap upacara itu sesuatu yang sakral. Tampak dari perbuatan mereka. Saat upacara san-sam mereka dengan bebas keluar rumah. Berkumpul di salah satu rumah atau warung. Lebih parahnya lagi mereka berjudi. Kesempatan upacara san-sam dimanfaatkan untuk berkumpul beramai-ramai disalah satu rumah. Karena di saat upacara san-sam orang tidak boleh bekerja. Misalnya menebang, berburu, bahkan menghidupkan api. Perbuatan itu tentu tidak sesuai dengan hakikat upacara san-sam sebenarnya yang telah diyakini oleh masyarakat Dayak sejak jaman dahulu. Jika dahulu, upacara san-sam, orang tidak boleh keluar rumah, apalagi berkumpul ramai-ramai.
Apa yang menyebabkan hal itu terjadi?
Seiring perkembangan jaman. Manusia yang memiliki akal pikiran pun juga turut berkembang. Permasalahanya, apakah pemikiran  manusia akan selalu berkembang pada hal yang positif? Menurut saya belum tentu demikian. Hal ini juga terjadi pada masyarakat dayak Dususn Aping. Mereka menganggap upacara san-sam tidak terlalu penting. Sesuatu yang bersifat adat tidak terlalu diindahkan. Tampak dari perbuatan mereka. Saat upacara san-sam dilakukan mereka lebih suka berkumpul dirumah yang lain dan di warung kemudian berjudi. Mereka tidak takut akan hukuman adat yang ada. Mungkin bagi mereka hukuman tersebut tidak terlalu berat. Hanya membeli seekor ayam dan tempayan kecil. Rasa malu mereka seakan tidak ada lagi bila telah melanggar hukum. Malah pernah sekali waktu.  Saat itu saya masih SMA. Pada saat upacara san-sam dilakukan terjadi penghukuman secara beramai-rama. Selain itu mereka beranggapan jaman sekarang tidak akan mungkin mendapatnkan panen yang melimpah. Beras bisa diperoleh dengan cara membeli di pasar dengan harga yang terjangkau dan lebih instan. Lauk-pauk juga bisa dengan mudah diperoleh di pasar.
Eksistensi kebudayaan upacara san-sam.
San-sam adalah upacara adat yang keberadaannya telah lama ada dalam kehidupan masyarakat Dayak khusunya di kecamatan Sajingan Besar. Upacara adat tersebut diyakini dapat memberi berkah terhadap hasil panen tahun berikutnya. Pada jaman dahulu hal itu memang benar-benar nyata. Panen selalu melimpah setiap tahunnya. Lalu mengapa upacara yang bersifat positif itu ditinggalkan pada jaman sekarang? Eksistensi adat istiadat jaman dahulu yang berkaitan erat dengan kemakmuran kehidupan masyarakat dayak tidak diragukan lagi. Saya masih ingat, waktu dulu kami tidak pernah kekurangan beras, selalu melimpah hasil ladang kami. Begitu juga nenekku pernah bercerita padaku. Di Jaman dia dahulu juga begitu. Orang-orang kampung selalu panen melimpah, bahkan sampai dijual ke negara tetangga (Malaysia) padi dan hasil ladang lainya.
Bagaiman menghidupkan kembali kesadaran masyarakat terhadap upacara san-sam?
Eksistensi kebudayaan dayak jaman dahulu memang tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi apakah kebudayaan itu akan selalu eksis selama perkembangan jaman? Menurut saya kenyatanya tidak selalu demikian yang terlihat. Faktor redupnya kebudayaan seperti upacara san-sam diakibatkan oleh kesadaran masyarakat dayak yang kurang cinta akan kebudayaannya. Tanggungjawabnya adalah kepada generasi penerus atau generasi muda. Mereka harusnya bangga akan kebudayaannya. Mereka semestinya melestarikan apa yang telah diwariskan oleh generasi pendahulunya. Upacara san-sam adalah kebudayaan yang positif maka wajib dilestarikan.
Cara melestarikan kebudayaan khusunya upacara san-sam bisa dengan cara menghargai kebudayaan tersebut. Dalam arti saat dilakukan upacar tersebut maka benar-benarlah menjalaninya. Jangan sampai melanggar peraturan adat yang telah ada sebelumnya. Toh juga tidak menguranggi rezeki, malah memberi keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar