Selasa, 02 Februari 2016



Kajian Semiotik Ala M. H. Abrams Terhadap Puisi
“SIA-SIA”  Karya Chairil Anwar
  (ADRIANUS ANDIKA RICHARDO) 
 


SIA-SIA

Penghabisan kali ini kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku  yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Sebelum menganalisis puisi “Sia-Sia” hal yang hedank kita buat untuk menganalisisnya adalah menafsirkannya secara prafrase.
Dilihat dari judul puisi tersebut “Sia-Sia” berati sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang itu sia-sia. Tetapi tidaklah cukup untuk kita menapsirkan sebuah puisihanya dengan melihat judulnya saja, penting lagi kita menganalisis lirik-lirik yang digunakan penyair.

Aku yang diam termangu, aku yang sudah itu tidak tahu, dan aku yang tak mau memberikan hatinya. Secara keseluruhan puisi ini menceritakan bagaimana si aku yang didatangi kekasihnya pada kali terakhir/penghabisan, seorang gadis yang datang pada kekasihnya , dan memberikan semua yang dimilikinya  pada si kekasih.   

Penghabisan kali itu kau datang                                
Membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:                     
Darah dan suci                                                           
Kau tebarkan depanku                                               
Serta pandang yang memastikan:  Untukmu 
… … …  

pada saat-saat terakhir/penghabisan ia atau kekasih si aku datang, membawa karangan bunga dan juga dirinya (sebagai kembang), mawar merah yang merupakan lambang darah dan melati putih yang melambangkan kesucian seorang perempuan yang belum dijamah atau dinikahi oleh laki-laki. Dan Kau, ingin memberikan keperawanannya pada si Aku : serta pandangan yang memastikan: untukmu.
            Sesungguhnya aneh, seorang perempuan yang sudah menyerahkan semua miliknya kepada kekasihnya, kemudian merasa ragu akan apa yang telah dilakukannya. Sepasang ini  kekasih bingung apakah perbuatan yang dilakukanya itu adalah sebuah tanda cinta antara dua insan atau hanya cinta jasmani. Tetapi keraguan ini buka hanya dialami oleh sang perempuan, bahkan sosok laki-laki dalam puisi pun digambarkan juga merasa bingung akan cintanya dan mereka sekan tak mengerti.
… … …
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
… ... …

           
Pada bait ketiga, baris pertama. Antara kalimat yang pertama dengan yang kedua sepertinya berlawanan. Kalimat pertama menyatakan dikeseharian itu mereka selalu bersama-sama, menghabiskan hari berduan.  Tetapi pada kalimat kedua menyatakan mereka saling tak hampir-menghampiri antara satu dengan yang lain. Tanda titik yang membatasi antara kalimat yang satu denagn yang lain menandakan bahwa kaliamat yang pertama denagn dengan yang kedua memiliki perpedaan ide pokoknya. Jadi maksud dari kalimat yang ada pada bait ke tiga itu adalah “sehari kita bersama” berati hari terakhirnya mereka bersama sesuai dengan kalimat yang ada pada bait pertama dan baris pertama “ penghabisan kali itu kau datang”. Dan “ tak hampir-menghampiri” setelah mereka bersama-sama kemudiam mereka tak pernah bertemu lagi.
… …. …
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri
… … …
            Selanjutnya pada bait keempat, mengambarkan si aku yang tidak mau memberi peluang kepada kekasihnya untuk bertemu lagi, menghilangkan rasa ridu kekasihnya. Seakan-akan yang dilakukan oleh si aku itu dengan sengaja, ia membiarkan kekasihnya merasa sepi sendiri.
… … …
Ah! Hatiku  yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
            Si aku sepertinya sangat marah dengan kekasihnya, tergambar dari kata “mampus kau di koyak-koyak sepi”, sehingga ia tidak mau memberi waktu kepada kekasihnya untuk bertemu dengannya.
Memahami sajak ialah usaha untuk menagkap maknanya ataupun usaha memberi makna sebuah sajak, dalam memaknai sebuah puisi tentunya hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah tipografi.  Puisi “Sia-Sia” yang terdiri dari dua belas larik, puisi ini dibuat dalam bentuk tempat bait, pada bait pertama terdiri dari enam baris, bait kedua terdiri dari tiga baris, bait ketiga terdiri dari satu baris, dan bait terakhir terdiri dari dua baris. Bentuk tipografi yang seperti ini memang lazim digunakan oleh Chairil Anwar dalam menulis puisinya, ia jarang sekali membuat puisi yang teratur bentuknya, mungkin bagi penyair ini, soal bentuk harus bisa mengambarkan apa yang ingin disampaikan oleh penyair.
Pada puisi “Sia-Sia, tipografi yang digunakan penulis sedikit unik, tidak terikat oleh bait dan larik dan bentuk seperti ini sering kali digunakan oleh penyair dalam puisinya. Tipografi yang rapi akan menimbulkan kesan dan suasana yang damai dan ketentraman. Sebaliknya jika tipografinya kacau atu tidak beraturan maka akan timbul kesan yang kacau balau juga dalam puisi, karena puisi adalah bentuk curahan perasaan penyair.

 Dilihat dari kata-kata yang digunakan penyair dalam puisinya adalah kita dapat mengetahui subjek lirik (aku) dalam puisi Sia-sia, adalah Chairil Anwar sendiri. Hal ini dapat terlihat dari tiap-tiap larik:
... ... ...
Darah dan suci                                                           
Kau tebarkan depanku                                               
Serta pandang yang memastika:  untukmu
... ... ...
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
... ... ...
Subjek lirik terlihat jelas dengan peng’aku’an si penulis. Tapi satu hal yang menjadi pertanyaan kita kepada diri kita sediri adalah siapa ‘kau’ yang dimaksud Chairil, apakah ia Sri Aryati atau gadis lain, atau apakah Hapsah yang kemudian menjadi istrinya? Itu adalah sederet nama perempuan yang pernah singah dihati Chairil. Dalam puisinya kali ini hubungan “aku” dan “kau” adalah gambaran tetang liku-liku penyair dengan kekasihya.
Setelah subjek lirik dan pendengar selesai kita analisis hal berikutnya yang sangat penting adalah pengembangan tema yang merupakan unsur intrinsik sebuah puisi. Pengembangan tema puisi dapat dilihat dengan tiga cara: momen perbuatan, kontras, dan suara penjumlahan. Pada puisi Sia-sia cara yang paling mudah adalah dengan melihat momen perbuatan. Melihat pada judul puisi “ Sia-sia”, kita dapat menarik kesimpulan puisi ini menceritakan perbuatan yang tidak ada gunanya (sia-sia). Datanya sebagai berikut.
Sudah itu kita sama termanggu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
... .... ....
         
          Selain bait dan larik, pada puisi tersebut terdapat unsur non bahasa lain, tanda baca seperti: tanda seru (!), titik(.), titik dua(:). Hal lain yang dapat dikaji adalah segi sintaksis. Struktur sintaksis pada kalimat berbeda dengan  puisi. Pada puisi strukturnya cenderung tidak beraturan.
Pada puisi sia-sia, struktur sintaksisnya termaksud dalam infrastrukturasi yaitu kaidah-kaidah bahasa diabaikan dan tidak bentuk pengulangan atausuprastrukturasi.
Karena dalam puisi tersebut terdapat beberapa larik yang menunjukan adanya inversi. Contohnya:
... ... ...
Membawa karangan kembang
... ... ...
Saling bertanya: apakah ini?
... ... ...
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
            Selain banyak hal di atas yang dianalisi dalam puisi dengan menggunakan pendekatan  semiotik ada yang dinamakan pencitraan dan retorika, pencitraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan mental tertentu.
Dalam sajak “Sia-Sia” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan tedapat dalam”penghabisan kali ini kau datang” menyatakan kedatangan kali terakhir sang perempuan yang ditunggunya, sedangkan dengan “lalu kita sama termangu”. termangu dapat dilihat dengan indera mata yaitu sebuah sikap seseorang yang sedang kebingungan inilah yang dikatakan citraan penglihatan.  Mengenai retorika yaitu sebuah teka teki yang dimaikan yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pendengar serasa dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan sebuah ide atau gagasan Chairil Anwar cenderung pada aliran realisme dan ekspresionis.



Anwar, Chairil. 1985. Kumpulan PuisiKerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Dian Rakyat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar