Kajian Semiotik Ala M. H. Abrams
Terhadap Puisi
“SIA-SIA” Karya Chairil Anwar
(ADRIANUS ANDIKA RICHARDO)
SIA-SIA
Penghabisan kali ini kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak
hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Sebelum menganalisis puisi “Sia-Sia” hal yang hedank
kita buat untuk menganalisisnya adalah menafsirkannya secara prafrase.
Dilihat dari judul puisi tersebut “Sia-Sia” berati sesuatu
perbuatan yang dilakukan seseorang itu sia-sia. Tetapi tidaklah cukup untuk
kita menapsirkan sebuah puisihanya dengan melihat judulnya saja, penting lagi
kita menganalisis lirik-lirik yang digunakan penyair.
Aku yang diam termangu, aku yang sudah
itu tidak tahu, dan
aku yang tak
mau memberikan hatinya. Secara keseluruhan puisi ini menceritakan bagaimana si aku yang didatangi kekasihnya
pada kali terakhir/penghabisan, seorang gadis yang datang pada
kekasihnya , dan memberikan
semua
yang dimilikinya pada si kekasih.
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati
putih:
Darah dan
suci
Kau tebarkan
depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu
…
… …
pada saat-saat terakhir/penghabisan ia atau kekasih si aku datang,
membawa karangan bunga dan juga dirinya (sebagai kembang), mawar merah yang merupakan lambang darah
dan melati putih yang
melambangkan kesucian seorang perempuan yang belum dijamah atau dinikahi oleh
laki-laki. Dan Kau, ingin memberikan keperawanannya pada si Aku : serta pandangan yang memastikan: untukmu.
Sesungguhnya aneh, seorang perempuan
yang sudah menyerahkan semua miliknya kepada kekasihnya, kemudian merasa ragu
akan apa yang telah dilakukannya. Sepasang ini
kekasih bingung apakah perbuatan yang dilakukanya itu adalah sebuah
tanda cinta antara dua insan atau hanya cinta jasmani. Tetapi keraguan ini buka
hanya dialami oleh sang perempuan, bahkan sosok laki-laki dalam puisi pun
digambarkan juga merasa bingung akan cintanya dan mereka sekan tak mengerti.
…
… …
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
… ... …
Pada
bait ketiga, baris pertama. Antara kalimat yang pertama dengan yang kedua
sepertinya berlawanan. Kalimat pertama menyatakan dikeseharian itu mereka
selalu bersama-sama, menghabiskan hari berduan.
Tetapi pada kalimat kedua menyatakan mereka saling tak
hampir-menghampiri antara satu dengan yang lain. Tanda titik yang membatasi
antara kalimat yang satu denagn yang lain menandakan bahwa kaliamat yang
pertama denagn dengan yang kedua memiliki perpedaan ide pokoknya. Jadi maksud
dari kalimat yang ada pada bait ke tiga itu adalah “sehari kita bersama” berati
hari terakhirnya mereka bersama sesuai dengan kalimat yang ada pada bait
pertama dan baris pertama “ penghabisan kali itu kau datang”. Dan “ tak
hampir-menghampiri” setelah mereka bersama-sama kemudiam mereka tak pernah
bertemu lagi.
…
…. …
Sehari kita bersama. Tak
hampir-menghampiri
… … …
Selanjutnya pada bait
keempat, mengambarkan si aku yang tidak mau memberi peluang kepada kekasihnya
untuk bertemu lagi, menghilangkan rasa ridu kekasihnya. Seakan-akan yang
dilakukan oleh si aku itu dengan sengaja, ia membiarkan kekasihnya merasa sepi
sendiri.
…
… …
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau
dikoyak-koyak sepi.
Si aku sepertinya
sangat marah dengan kekasihnya, tergambar dari kata “mampus kau di koyak-koyak sepi”, sehingga ia tidak mau memberi
waktu kepada kekasihnya untuk bertemu dengannya.
Memahami sajak ialah usaha untuk menagkap maknanya ataupun
usaha memberi makna sebuah sajak, dalam memaknai sebuah puisi tentunya hal lain
yang perlu diperhatikan juga adalah tipografi.
Puisi “Sia-Sia” yang terdiri dari dua belas larik, puisi ini dibuat
dalam bentuk tempat bait, pada bait pertama terdiri dari enam baris, bait kedua
terdiri dari tiga baris, bait ketiga terdiri dari satu baris, dan bait terakhir
terdiri dari dua baris. Bentuk tipografi yang seperti ini memang lazim digunakan
oleh Chairil Anwar dalam menulis puisinya, ia jarang sekali membuat puisi yang
teratur bentuknya, mungkin bagi penyair ini, soal bentuk harus bisa
mengambarkan apa yang ingin disampaikan oleh penyair.
Pada puisi “Sia-Sia”, tipografi yang digunakan penulis sedikit unik, tidak
terikat oleh bait dan larik dan bentuk seperti ini sering kali digunakan oleh penyair
dalam puisinya.
Tipografi yang
rapi akan
menimbulkan
kesan dan suasana yang damai dan ketentraman. Sebaliknya jika tipografinya kacau atu tidak beraturan maka akan timbul
kesan yang kacau balau juga dalam puisi, karena puisi adalah bentuk curahan
perasaan penyair.
Dilihat dari kata-kata yang
digunakan penyair dalam puisinya adalah kita dapat mengetahui subjek lirik
(aku) dalam puisi Sia-sia, adalah Chairil Anwar sendiri. Hal ini dapat terlihat
dari tiap-tiap larik:
... ... ...
Darah dan
suci
Kau tebarkan
depanku
Serta pandang yang memastika: untukmu
... ... ...
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
... ... ...
Subjek lirik terlihat jelas dengan peng’aku’an si penulis.
Tapi satu hal
yang menjadi pertanyaan kita kepada diri kita sediri adalah siapa
‘kau’ yang dimaksud Chairil, apakah ia Sri Aryati atau gadis lain, atau apakah Hapsah yang
kemudian menjadi istrinya? Itu adalah sederet nama perempuan yang pernah singah dihati
Chairil. Dalam puisinya kali ini hubungan “aku” dan “kau” adalah gambaran
tetang liku-liku penyair dengan kekasihya.
Setelah subjek lirik dan pendengar selesai kita analisis hal berikutnya
yang sangat penting adalah pengembangan tema yang merupakan unsur intrinsik
sebuah puisi. Pengembangan tema puisi dapat dilihat dengan tiga cara: momen perbuatan,
kontras, dan suara penjumlahan. Pada puisi Sia-sia cara yang paling mudah
adalah dengan melihat momen perbuatan. Melihat pada judul puisi “ Sia-sia”, kita dapat menarik
kesimpulan puisi ini menceritakan perbuatan yang tidak ada gunanya (sia-sia). Datanya sebagai berikut.
Sudah itu kita sama termanggu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
... .... ....
Selain bait dan larik, pada puisi tersebut terdapat unsur non bahasa lain,
tanda baca seperti: tanda seru (!), titik(.), titik dua(:). Hal lain yang dapat
dikaji adalah segi sintaksis. Struktur sintaksis pada kalimat berbeda dengan
puisi. Pada puisi strukturnya cenderung tidak beraturan.
Pada puisi sia-sia, struktur
sintaksisnya termaksud dalam infrastrukturasi yaitu kaidah-kaidah
bahasa diabaikan
dan tidak bentuk pengulangan atausuprastrukturasi.
Karena dalam puisi tersebut terdapat beberapa larik yang
menunjukan adanya inversi. Contohnya:
... ... ...
Membawa karangan kembang
... ... ...
Saling bertanya: apakah ini?
... ... ...
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
Selain banyak hal di atas yang
dianalisi dalam puisi dengan menggunakan pendekatan semiotik ada yang dinamakan pencitraan dan
retorika, pencitraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya
kesan keindrawian atau kesan mental tertentu.
Dalam
sajak “Sia-Sia” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan tedapat
dalam”penghabisan kali ini kau datang” menyatakan kedatangan kali terakhir sang
perempuan yang ditunggunya, sedangkan dengan “lalu kita sama termangu”.
termangu dapat dilihat dengan indera mata yaitu sebuah sikap seseorang yang
sedang kebingungan inilah yang dikatakan citraan penglihatan. Mengenai retorika yaitu sebuah teka teki yang
dimaikan yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pendengar serasa
dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan sebuah ide atau gagasan Chairil
Anwar cenderung pada aliran realisme dan ekspresionis.
Anwar,
Chairil. 1985. Kumpulan PuisiKerikil
Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Dian Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar